Hari ini, tanggal 25 Januari 2014. Perjalanan merantau dari kota Bogor menuju kabupaten Lebak, Banten terasa sungguh membosankan. Kegiatan yang selalu dan selalu aku lakukan setiap minggu, pulang pergi tanpa henti. Yah, demi satu tujuan yang pasti, kesejahteraan. Lima tahun bekerja siang malam di sebuah Perusahaan milik orang Italy di Bogor, tak juga meningkatkan derajatku sebagai seorang perantauan. Kini kesempatan terbuka lebar. Aku diberi kesempatan oleh Allah SWT, untuk berkarir di sebuah perusahaan milik pemerintah provinsi Jawa Barat dan Banten. Seperti hari-hari biasanya, hari ini udara kota Bogor terasa sangat panas. Hampir 2 minggu tak merasakan hangatnya sinar matahari, kini kesempatan itupun datang, dan datangnyapun tak kira-kira, suhu yang tercatat mencapai 33° celcius, sungguh sangat mengkhawatirkan, mungkin karena dampak global warming.
Oke, kita kembali lagi pada tema awal, perjalanan merantau menuju Rangkasbitung Lebak Banten. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB, saatnya memulai perjalanan. Setelah perbekalan dan amunisi dirasa cukup, bekal makan malam, nasi hangat plus semur ati ampela, gadget, powerbank, charger, dompet dan sebagainya, kini perjalananpun dimulai. Bertolak dari tempat tinggalku di kawasan jalan Mayor Oking Ciriung, kecamatan Cibinong, aku diantar oleh kakak perempuanku ke stasiun Bojonggede. Kira-kira jarak yang ditempuh membutuhkan waktu sekitar 30-40 menit, melewati Pasar Cibinong kemudian ke arah kawasan perkantoran pemda kabupaten Bogor dilanjutkan ke pasar Bojong dan tibalah di stasiun Bojonggede, sebagai tempat tujuan pertamaku.
Stasiun Bojonggede, terlihat beberapa pengguna jasa kereta api |
Sesampainya di stasiun Bojonggede, aku berpamitan dan tidak lupa mencium tangan kakakku kemudian menuju ke loket yang letaknya tidak jauh dari pintu masuk. Di sana aku di sapa oleh beberapa petugas loketing yang terlihat sibuk melayani calon penumpang. Ada 3 loket untuk melayani pembelian dan aktivasi tiket, serta 1 loket khusus untuk melayani pengembalian kartu berjaminan. Untuk kali ini aku membeli tiket khusus commuter line jurusan Bojonggede - Tanah abang seharga Rp. 9.000,-, yang seharusnya hanya seharga Rp. 4.000,-. Tapi karena ada semacam sistem khusus dari PT. Kereta Commuter Jabodetabek yang mengharuskan calon penumpang membayar uang penggantian kartu sebesar Rp. 5.000,-, maka mau tidak mau aku harus membayar lebih. Tapi itu sebenernya tidak masalah, karena nanti di stasiun tujuan, kartu tadi bisa ditukarkan lagi dengan uang penjaminan. Bagi calon penumpang baru, memang sangat membingungkan, namun lama kelamaan nanti juga akan terbiasa. Sebenarnya sistem Tiket Harian Berjaminan (THB) adalah sebagai pengganti tiket single trip pada tanggal 22 Agustus 2013.
Setelah tiket di tangan, kita diwajibkan tapping tiket di gate in yang ada di depan loket dan masuk dengan terlebih dahulu mendorong tripod gate. Apabila kita tidak tahu cara menggunakannya, tenang saja, ada beberapa sekuriti yang berjaga di sepanjang jalan, yang siap membantu kita kapan saja. Selanjutnya waktunya menunggu kereta yang akan kita naiki, di sepanjang kanopi ada tempat duduk yang disiapkan khusus untuk calon penumpang, walaupun hanya dari pipa besi, namun lumayan, bisa untuk sekedar melemaskan otot. Tidak lebih dari 15 menit, akhirnya kereta commuter line jurusan Tanah Abang- Jatinegarapun datang. Kereta bekas lungsuran dari Korea ini kelihatan seperti baru, walaupun bekas. Mungkin untuk ukuran orang Korea, kereta ini adalah kereta bekas yang tak layak pakai di negaranya, namun untuk ukuran orang Indonesia, berbeda ceritanya, kereta ini adalah kereta termewah dan tercanggih sepanjang masa. Bagaimana tidak, kereta bergerbong 10 ini dilengkapi pintu yang bisa secara otomatis terbuka dan tertutup dengan sendiri. Sungguh luar biasa.
Perjalanan menuju stasiun Tanah Abang begitu membosankan, semua penumpang sibuk dengan dunianya masing-masing. Tak ada teman, tak ada saudara. Memang tampak dari luar begitu ramai, namun kalau dipikir-pikir rasanya sepi sekali. Hanya pemandangan kota Depok dan Jakarta yang bisa menghilangkan rasa bosan itu, sesekali melirik ke luar, melihat aktifitas masyarakat kota dengan berbagai polemiknya.
Suasana di dalam kereta Commuter Line |
Untuk perjalanan kali ini ditempuh dalam waktu 50 menit dari stasiun Bojonggede, lumayan membuat stres. Sesampainya di stasiun Tanah Abang, kita disuguhi oleh atraksi beberapa sekuriti dalam memainkan peluit dengan berbagai irama, ada yang panjang melengking, ada juga yang mengikuti irama ketukan. Ah, entahlah itu sengaja, ataupun tidak disengaja, tidak berpengaruh apapun padaku. Menurutku itu semua hanya menambah kebisingan saja. Setelah turun dari kereta, kita harus tapping tiket lagi di gate out yang ada di bawah fly over. Di sana juga ditempatkan beberapa sekuriti untuk menjaga dan membantu kita apabila kebingungan dalam menggunakan tiket. Jam sudah menunjukkan pukul 17. 30 WIB, aku bergegas mempercepat langkahku, karena aku harus antri lagi di loket untuk mendapatkan tiket kereta Ekonomi Patas Rangkasjaya, kereta terbaik menuju Kabupaten Lebak, walaupun kenyataannya mirip seperti kereta barang. Sesampainya di loketing, kita diwajibkan antri, hanya ada 1 loket yang menjual tiket tujuan Rangkasbitung, hingga calon penumpangpun terlihat mengular. Lagi-lagi harus sabar dan menahan rasa bosan karena menunggu.
Suasana di dalam stasiun Tanah Abang |
Stasiun Tanah Abang, calon penumpang terlihat sepi |
Tiket kereta api Rangkasjaya jurusan Rangkasbitung |
Lampu remang-remang, ditemani bau lembab, dan udara dingin yang terasa kurang begitu nyaman, menemani perjalanan dari stasiun Tanah Abang menuju Rangkasbitung. Untuk yang tidak membawa bekal makanan, di dalam kereta ini disediakan beraneka makanan dan minuman segar, namun dengan harga yang sedikit mahal. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan di dalam kereta ini, karena selain gelap, sepertinya tidur merupakan jalan terbaik untuk menikmati perjalanan menuju Rangkasbitung. Jadwal tiba di stasiun Rangkasbitung seharusnya pukul 20.15 WIB, Namun karena adanya gangguan sinyal telegraph aku sampai di stasiun pukul 20.45 WIB. Sampailah di kabupaten Lebak, Banten. Kabupaten tertinggal menurut catatan BPS.